Sabtu, 03 September 2016

Menengok pesantren untuk anak teroris



Sekilas Pesantren Darusy Syifaa tak tampak istimewa. Tapi para santri yang belajar di sana membuatnya berbeda. Mereka anak-anak teroris.

Terdapat 20 santri tengah belajar di pesantren yang ada di Dusun IV, Desa Sei Mencirim, Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), ini. Seorang di antaranya perempuan.

"Orangtua para santri ini memang terjerat kasus terorisme. Ada yang sudah meninggal dunia, ada yang masih ditahan, ada pula yang sudah bebas," kata Khoirul Ghazali alias Abu Yasin (50), pendiri Pesantren Darusy Syifaa.

Pesantren ini memang bertujuan untuk melakukan deradikalisasi dan rehabilitasi teroris. Lembaga ini diklaim yang pertama dan satu-satunya di Indonesia.

Ghazali bukan kebetulan terlibat pada persoalan deradikalisasi. Pria berkacamata ini juga pernah terlibat kasus terorisme. Dia dijatuhi hukuman 6 tahun penjara karena terlibat perampokan Bank CIMB Niaga, Jalan Aksara, Medan yang terjadi pada Agustus 2010.

Baca Juga http://rajapoker88kerenbanget.com

Setelah menjalani hukuman 4 tahun 2 bulan, Ghazali mendapat pembebasan bersyarat pada tahun lalu. Kondisi yang dia dapati sekeluar dari penjara membuatnya tergerak mendirikan pesantren untuk anak-anak teroris.

Awalnya, kata Ghazali, cukup sulit mengubah pandangan anak-anak para teroris yang menjadi santrinya. Mereka sangat membenci dan mendendam pada polisi yang dinilai sebagai thagut. Namun lama-kelamaan sikap itu berubah.

"Kita ajarkan Islam yang sebenarnya. Kita ajarkan jihad yang sebenarnya, bahwa di sini bukan daerah konflik, bahwa Islam rahmatan lil 'alamin, bahwa Islam mengajarkan kasih sayang," ucapnya.

Pesantren yang didirikan Ghazali berada di sekitar sawah dan perkebunan, kini kebun jagung. Belum banyak bangunan di lahan seluas 7.000 meter itu. Baru ada satu rumah sekaligus kantor pesantren, musala, rumah kecil semipermanen yang dijadikan tempat tinggal santri, dan 3 pondok gazebo beratap rumbia yang digunakan untuk belajar.

Pesantren Darusy Syifaa menggunakan konsep sekolah alam. Para santri berjubah putih dan sorban belajar di atas pondok gazebo berukuran sekitar 3x3 meter yang sengaja ditempatkan di bawah pepohonan di tepi sawah dan kolam ikan. Mereka harus melewati jalan kecil dan pematang kolam untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

"Kita juga mengajarkan wirausaha dengan memelihara ikan di kolam serta menanam cabai, kacang panjang dan kangkung untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga menjadi sekolah mandiri," jelas Ghazali.

Salah seorang pengajar di Pesantren Darusy Syifaa, M Haris Iskandar (50), menambahkan, sistem pendidikan di sana tetap mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

"Kami ajarkan pelajaran umum serta muatan lokal. Muatan lokalnya yaitu kewirausahaan pertanian dan peternakan, serta deradikalidasi. Itu yang membuat pesantren ini berbeda dengan sekolah lain," ujar Haris.

Santri tidak dipungut biaya apa pun untuk belajar di Pesantren Darusy Syifaa. Makannya juga ditanggung. Selain dari hasil kebun, Ghazali menggunakan royalti dari menulis buku dan honor sebagai narasumber seminar, untuk membiayai pesantren. Juga ada donatur yang mendukungnya.

Ke depan, Pesantren Darusy Syifaa tidak hanya ditujukan untuk anak-anak teroris. Lembaga pendidikan ini juga akan dibuka untuk umum, namun diupayakan dari keluarga miskin karena rencananya mereka juga tidak akan dipungut biaya. "Ini penting untuk pembauran," sebut Ghazali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar